ADA suatu kemampuan yang membedakan manusia dengan satwa, yaitu kemauan dan kemampuan mengukur. Memang manusia diberi anugerah (atau kutukan?) naluri matematikal demi mengukur segala sesuatu di alam semesta ini termasuk apa yang disebut waktu. Dari ikhtiar mengukur waktu bermunculan aneka ragam gagasan antara lain apa yang disebut sebagai kalender. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kalender bermakna “daftar hari dan bulan dalam setahun; penanggalan; almanak; takwim“. Sementara menurut ensiklopedia Brittanica terdapat berbagai jenis kalender yang disusun oleh manusia antara lain berdasar pengamatan terhadap gerak matahari, rembulan dan perpaduan matahari-rembulan di samping hadir pula kalender yang disusun oleh agama. Namun apapun jenisnya dapat disepakati bahwa kalender merupakan satu di antara sekian banyak mahakarya pemikiran matematikal umat manusia yang sementara ini eksis di planet bumi. Tanpa daya matematikal mustahil manusia mampu menyusun kalender sebagai upaya mengukur apa yang disebut sebagai waktu yang untuk sementara ini masih lestari cukup sengit diperdebatkan tentang definisinya. Bersama dengan apa yang disebut sebagai ruang. Mustahil saya mampu membahas kalender secara paripurna dan sempurna dengan daya pemikiran saya yang sangat terbatas sambil dangkal ini. Maka di ruang terbatas naskah sederhana ini, saya hanya mencoba fokus terhadap kalender yang disusun oleh satu di antara peradaban Amerika Tengah, yaitu kalender Maya. Kalender Maya diduga disusun oleh para astronom peradaban Maya berdasar pengamatan organoleptik maupun pemikiran matematikal terhadap gerak-orbit bukan hanya matahari dan rembulan, namun juga para planet di tata surya Bima Sakti dengan menggunakan perhitungan matematematikal luar biasa intriket yang masih mampu menggetar sukma para matematikawan/wati masa kini. Apalagi saya.